Artikel Islami

Khutbah Jum'at : Siapa Yang (Masih) Waras?

SIAPA YANG (MASIH) WARAS?

Oleh H.M. Mufti AW Pulungan

Tanggal 6 Dzulqa’dah 1444 H/26 Mei 2023 M

Katakanlah (wahai Muhammad), tidaklah sama yang buruk dengan yang baik, meskipun  banyaknya  yang buruk itu menarik hatimu. Maka bertakwalah  kepada Allah hai orang-orang yang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan.‖ [QS al-Maidah/5: 100].

Pertanyaan itu sekilas terdengar kasar, sinis, atau justru lucu. Tetapi di masa yang akan datang, bisa jadi kita akan semakin sering dibuat terperangah dan bertanya-tanya kepada diri sendiri, Betulkah saya masih waras?.

Begitu kira-kira rasa heran kita ketika menyaksikan ternyata lebih banyak suara yang mendukung kebatilan. Contohnya pornografi, seks bebas, suap, korupsi, perjudian, khamr1, pemutlakan pendapat, kultus individu, dan lain-lain. Begitu pula etika kita justru dipaksa tersipu dan salah tingkah sendiri melihat orang yang pakaiannya ternyata tidak menutup aurat (ngadi saliro tanpo busono).

Perhatikanlah dokumen sejarah manusia masa lalu berikut ini. Pertama kali perilaku homoseksualitas (liwath) mewabah di tengah-tengah masyarakat ialah pada kaum Nabi Luth AS. Betapa repotnya beliau ketika hendak kedatangan tamu (para malaikat) yang berwujud pria-pria tampan.

Kaum Nabi Luth beramai-ramai mendekati rumah beliau, sambil berteriak tidak senonoh. Nabi Luth berusaha

mengusir‘ mereka seraya berkata, ―Ini anak-anak gadisku, mereka lebih suci (pantas) bagi kamu. Maka bertakwalah kamu kepada Allah dan jangan kamu permalukan aku di hadapan para tamuku. Tidak adakah di antara kamu orang yang (masih) waras?

Orang-orang itu justru menolak dan berkata, ―Engkau sebenarnya mengerti bahwa kami tidak tertarik kepada anak- anak perempuanmu, dan engkau juga mengetahui apa yang kami kehendaki (pasangan sejenis kelamin, alias homoseks). Fenomena keji dan kotor ini di-abadikan kisahnya di dalam al- Qur‘an, surah Huud/11: 77-80.

Hal itu kini muncul lagi dengan istilah gerakan  lesbiangay, biseksual, transgender dan queer (LGBTQ). Simbol mereka adalah (bendera) warna pelangi.

Di tengah anomali sosial dan susila seperti itu kebenaran, kebaikan, dan kesalehan, niscaya dipandang sebagai hal aneh dan tidak lumrah‘. Mengenai hal ini sebenarnya telah jelas peringatan Allah SWT sebagaimana tersebut di awal khutbah. 

Dalam ayat yang lain peringatan Allah  lebih  keras  lagi kepada mereka yang –baik karena tidak tahu maupun dengan

sengaja— mengekor perilaku kebanyakan manusia,

Dan jika engkau menuruti kebanyakan orang-orang yang di atas bumi ini niscaya mereka menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)‖ [QS al-An‘am/6: 116].

Bila kita renungkan lebih mendalam dan bertanya kepada hati nurani, sebenarnya perilaku menyeleweng itu tidak lain adalah karena bujuk rayu setan.

―(Bujukan orang-orang munafik itu) seperti (bujukan) syetan ketika dia berkata kepada manusia, ‗Kafirlah kamu

(kepada Allah)‘. Maka tatkala manusia itu telah kafir, ia berkata, ‗Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu, karena sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan Semesta Alam‘‖ [QS 59/Al-Hasyr: 16].

Begitu entengnya setan cuci tangan. Tinggallah manusia itu nanti yang akan menyesal dan meratapi nasibnya (ditimpa azab api neraka nan pedih).

Jargon mayoritas pendukung kebatilan, kejahatan, dan kesesatan itu kini hadir dalam formulasi bahasa dan isitilah yang terkesan canggih, saintifik, dan eksklusif. Bahkan, kebatilan pun dikesankan ilmiah dan humanis: ―Melindungi hak asasi manusia, kebebasan berekspresi dan berbuat‖.

Mereka juga dengan ekspresi innocent menuduh orang yang mencoba berbuat islah dan amar ma’ruf dan nahy munkar sebagai sok moralis, sok suci, munafik, bau surga dan lainnya.

Ungkapan itu justru paradoks, tidak ilmiah, dan bertentangan dengan harkat martabat manusia itu sendiri!

Kitab Suci al-Qur‘an telah dengan tegas memperingatkan kaum beriman akan busuknya rencana dan sepak terjang kaum kafir dan munafik,

Dan jika dikatakan kepada mereka, Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi!‘, mereka menjawab,

Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan‘. Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang- orang yang membuat ke-rusakan, tetapi mereka tidak sadar‖. [QS 2/Al-Baqarah: 11-12].

Orang mukmin memang harus toleran (terhadap perbedaan dan keberagaman yang diperkenankan), bahkan mengikuti pendapat orang banyak jika hal itu benar dan baik. Namun kita juga harus tegas menolak, mengingkari dan menentang hal yang berdasar syara‘ dan hati nurani nyata- nyata keji, jahat, asusila, asosial (bahkan antisosial) dan merugikan.

Rasulullah SAW bersabda:

Tidak seharusnya seseorang itu menuruti perintah sesama (manusia) dalam rangka mendurhakai  Allah Sang Maha Pencipta.

Renungkanlah rekaman rintihan dan penyesalan penduduk neraka kelak di hadapan Allah SWT, sebagaimana diabadikan oleh al-Qur‘an,

Dan mereka berkata, Wahai Tuhan kami, sesungguhnya kami (dahulu di dunia) sekadar mengikuti tuan-tuan dan para pembesar kami. Dan ternyata mereka itu semua menyesatkan kami dari jalan (yang lurus)‘‖. [QS 33/Al- Ahzab: 67]

Ingatlah, setiap diri kelak harus mempertanggung- jawabkan perbuatannya sendiri. Pada hari itu harta, sanak famili, bahkan seluruh penghuni bumi dan  langit  takkan dapat menolongnya. Orang yang selamat hanyalah mereka yang datang dengan hati yang bersih (dan akal yang waras).

Hati-hati dan waspada! Istilah popularitas, mode, tren, dan berbagai atribut keren lainnya mungkin justru akan menjadi senjata makan tuan bak bumerang. Siapa saja yang terpedaya olehnya niscaya akan menuai cemoohan dan cibiran manusia di dunia ini, dan laknat Allah serta segenap malaikat penghuni langit di akhirat kelak. Na’udzu billah min dzalik.

Akhirnya, marilah kita camkan firman Allah SWT,

Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu‖ [QS 2/Al-Baqarah: 147], lihat juga QS 3/Ali Imran: 60.

Wallahu a‘lamu bish-shawab.