Artikel Islami

Khutbah Jum'at : Misi Islam Merawat Jagad Membangun Peradaban

Ibadah sebagai Amanah

Manusia sebagai makhluk mulia, diberi amanah untuk beribadah kepada Allah. Ungkapan ibadah pada dasarnya bermakna ketaatan, ketundukan, dan ketersinambungan berkelanjutan dengan Allah melalui rahmat dan ridho-Nya. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana manifestasi ibadah tersebut dalam kehidupan? Bukankan al-Qur’an berfirman dalam al-Ankabut 2:

أحسب الناس أن يتركوأ أن يقولوا آمنا وهم لا يفتنون

“apakah orang-orang itu menyangka bahwa mereka bebas mengklaim keimanan, tanpa ujian?”

            Bahkan al-Qur’an mengkritik manusia sebagai makhluk yang zalim dan bodoh karena mengaku mampu menjalankan  amanah Tuhan, mendaku sebagai makhluk yang paling pantas menjalankan amanah ubudiyah, namun realitasnya justru mengabaikan amanah tersebut. Allah berfirman dalam al-Ahzab 72:

إنا عرضنا الأمانة على السماوات والأرض و الجبال فأبين أن يحملناها و أشفقن منها و حملها الإنسان إنه كان ظلوما جهولا

“Kami telah menawarkan amanah ini kepada langit, bumi, dan gunung tetapi kesemuanya enggan menerima amanah tersebut karena merasa keberatan menjalankannya, lalu manusialah yang mengajukan diri mengemban amanah itu, tetapi sayang manusia ternyata seringkali zalim dan bodoh dalam bersikap sehingga gagal menjalankan amanat tersebut”

            Membatasi amanah ubudiah hanya sebagai ritual simbolik seperti sholat, puasa, zakat, membaca al-Qur’an, dan haji jelas merupakan reduksi dari makna ubudiyah tersebut. Ketundukan pada Allah pada hakekatnya bukan sekedar ekspresi simbolik seremonial belaka, namun ia meliputi segala tindakan, sikap, dan perilaku kita sebagai manusia. Berulangkali al-Qur’an menyandingkan kata iman dan amal sholih untuk menegaskan bahwa urusan ibadah bukan semata vertical sifatnya, namun harus pula berdimensi horizontal. Terkait dengan itu Rasul bersabda:

لا يؤمن أحدكم حتى يحب ما لأخيه ما يحب لنفسه

“seseorang dikatakan beriman apabila ia mencintai untuk orang lain sebagaimana ia mencintai untuk dirinya sendiri”.

Hadis ini menunjukkan bahwa iman harus diterjemahkan sebagai ibadah dengan menciptakan kebaikan bagi sesama. Bahkan di hadis lain salah satu indicator keimanan adalah menghormati dan menghargai sesama makhluk hidup:

من كان يومن بالله واليوم الآخر فليكرم ضيفه أو جاره او فليقل خيرا أو ليصمت

“Siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir pasti dia akan menghormati tamu, tetangga, dan berkata baik atau diam”.

Isti’mar dan Istikhlaf

            Amanah besar dari Allah kepada umat manusia pada hakekatnya dapat diklasifikasikan dalam dua misi utama yaitu: al-isti’mar (merawat  jagad) dan al-istikhlaf (membangun peradaban). Allah berfirman dalam Hud 61:

هو أنشأكم من الأرض و استعمركم فيها

“Allah yang telah menciptakan kalian dari unsur tanah, Dia pula yang memberikan amanah untuk merawatnya”

Kata isti’mar terambil dari kata umr (usia), umraan (menyemarakkan/membangun), sehingga kata ini menyaran pada amanah bagi manusia untuk terus menyemarakkan dan membangun dunia dengan kebaikan agar bumi ini terus terawat. Ibarat manusia dunia dan alam semesta ciptaan allah ini harus dirawat dan dijaga dapat berumur panjang dan mengalirkan kebaikan bagi umat manusia.

Dalam an-Nur 55 Allah berfirman:

وعد الله الذين آمنوا منكم و عملوا الصالحات ليستخلفنهم في الأرض

“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal sholeh, bahwa mereka akan dapat menciptakan peninggalan-peninggalan berupa warisan-warisan peradaban di muka bumi”.

Kata istikhlaf dalam ayat ini seakar dengan kata khalaf yang artinya “tinggalan” dan khalifah yang artinya wakil/ pengganti. Dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa manusia yang beriman dan beramal sholehpasti akan dapat menjalankan amanat mulia untuk terus memberikan nilai plus bagi kehidupan, untuk menunjukkan representasi kemuliaan Tuhan di jagat raya. Melalui fungsi istikhlaf ini manusia dituntut untuk berkarya nyata membangun peradaban dan menciptakan kebudayaan.

            Amanah mulia Allah bagi umat manusia, yang bernilai ibadah itu tidak lain dan tidak bukan adalah merawat jagad dan membangun peradaban. Terkait dengan itu Rasul bersabda:

إنما أنا رحمة مهداة و إنما بعثتت لأتمم مكارم الاخلاق

“Saya adalah Kasih Allah yang dihadiahkan kepada jagat raya ini, dan saya diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak mulia”.

            Misi Rasul di atas sejalan dengan amanah untuk merawat jagad dan membangun peradaban. Diawali dengan menebar kasih terhadap sesama manusia dan sesama ciptaan Allah yang lain, kemudian dibingkai dengan moralitas, etika, logika, dan estetika yang mulia maka alam bumi beserta isinya, alam jagad raya dengan semua elemennya akan dapat menjadi citra Tuhan di alam ciptaan Nya.

Lima Manifestasi Misi Islam

            Merawat jagad dan membangun peradaban di atas bukan hanya slogan dan tag line indah semata. Ia harus diterjemahkan dalam misi kongkrit yang harus diemban oleh setiap manusia beriman dan beramal sholeh. Syekh Usamah al-Azhary menyimpulkan bahwa tagline di atas dapat diterjemahkan melalui 5 misi, yaitu:

  1. احترام الأكوان ihtiraam al-Akwaan (menghormati alam lingkungan ciptaan Allah)

Allah berfirman dalam Luqman 20:

الم تروا أن الله سخر لكم ما في السموات و ما في الأرض

“apakah kalian tidak memperhatikan? Bahwa Allah telah menundukkan apa yang di langit dan di bumi untuk kalian”.

Dari ayat ini Allah ingin menegaskan bahwa umat manusia harus terus mengkaji dan meneliti alam semesta agar ia dapat mengambil manfaat darinya. Alam yang terbentang di hadapan kita akan dapat dikontrol, dimanfaatkan, dan diprediksi oleh manusia manakala ia mampu mengembangkan sains dan teknologi. Dari sini dapat disimpulkan bahwa menghormati alam lingkungan dimanifestasikan dengan etos pengembangan sains dan teknologi. Setelah meneliti, maka Allah berfirman dalam al-baqarah 60:

كلوا واشربوا من رزق الله ولا تعثوا في الأرض مفسدين

“nikmatilah karunia Allah di alam semesta ini, dan jangan kalian membuat kerusakan lingkungan”

Bahkan dalam al-Qasas 77 Allah menegaskan:

و أحسن كما أحسن الله إليك و لا تبغ الفساد في الأرض

“berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepada kamu, dan jangan melakukan kerusakan di muka bumi ini”.

Dari kedua ayat ini, maka menghormati lingkungan dapat diwujudkan dengan pemuliaan dan pemanfaatannya untuk kebaikan manusia dan lingkungan itu sendiri, dengan menghidari tindakan dan sikap yang menciptakan kerusakan tatanan kehidupan dan tatanan alam semesta. Menghormati alam-lingkungan dapat dilakukan dengan memelihara keberlangsungan lingkungan agar dapat terus dinikmati generasi yang akan datang. Terkait dengan itu, bimbingan Rasul mengajarkan bahwa menyangi binatang, menjaga kebersihan lingkungan, menghormati sesama makhluk ciptaan Allah, merawat tumbuh-tumbuhan, dan bahkan memberikan energy positif terhadap alam akan mendatangkan kebaikan Allah SWT. Terkait dengan hujan Rasul mengajarkan sugesti positif melalui doa:

اللهم صيبا نافعا

“ Ya Allah semoga hujan ini menjadi manfaat bagi kita”

Ketika memasuki bulan baru Rasul mengajarkan doa:

للَّهُمَّ أَدْخِلْهُ عَلَيْنَا بِالْأَمْنِ، وَالْإِيمَانِ، وَالسَّلَامَةِ، وَالْإِسْلَامِ، وَرِضْوَانٍ مِنَ الرَّحْمَنِ، وَجَوَازٍ مِنَ الشَّيْطَانِ

“Ya Allah masukkan bulan baru ini kepada kami dengan keamananan, keimanan, keselamata, kedamaian, dan ridha dari Allah Ar Rahman, dan jauhkan kami dari godaan syetan”.

  1. إكرام الإنسان Ikraam al-Insan (memuliakan manusia)

Allah berfirman dalam al-Isra’ 70:

ولقد كرمنا بني آدام و حملناهم في البر و البحر ورزقناهم من الطيبات وفضلناهم على كثير ممن خلقنا تفضيلا

“Kami telah memuliakan anak cucu Adam, kami beri mereka pengetahuan sehingga dapat mengarungi lautan dan daratan sehingga mereka dapat memperoleh karunia berupa kebaikan-kebaikan Allah, mereka kami muliakan atas makhluk-makhluk lainnya”.

            Dalam upaya untuk memuliakan manusia, agama menetapkan Maqashid Syari’ah (tujuan-tujuan Syari’ah), yaitu: hifzun nafsi (menjaga jiwa), hifzul aql (menjaga akal/ budaya), hifzul ‘irdh (menjaga kehormatan), hifzul maal (menjaga kepemilikan), dan hifzud diin (menjaga keyakinan beragama). Dalam upaya menjaga akal, maka memuliakan manusia dapat dilakukan dengan pengembangan pendidikan, penguatan literasi, dan budaya berpikir kritis. Allah berfirman dalam al-Waqiah untuk mendorong kita berpikir, membangun budaya ilmu pengetahuan semata-mata untuk memberikan dedikasi kebaikan atas nama Tuhan bagi sesama ciptaan Allah:

أفرأيتم ما تمنون ….. أفرأيتم ما تحرثون…….. أفرأيتم الماء……أفرأيتم النار……..نحن جعلناهاتذكرة و متاعا للمقوين فسبح باسم ربك العظيم* فلا أقسم بمواقع النجوم وإنه لقسم لو تعلمون عظيم *إنه لقرآن كريم في كتاب مكنون لايمسه إلا المطهرون

“Sudahkah kalian mempelajari penciptaaan manusia……, sudahkah kalian mempelajari unsur-unsur tanah……., sudahkah kalian mempelajari air………sudahkah kalian mempelajari api….kami jadikan ia sebagai peringatan dan karunia bagi mereka yang bertekad kuat, dan demi bintang-bintang di langit itu semua merupakan keteraturan yang begitu hebat, itulah sumber ilmu tersembunyi yang harus dipelajari oleh mereka-mereka yang tulus murni mendedikasikan diri bagi tercapainya kebaikan Tuhan”.

            Untuk menjaga jiwa, maka kita dituntut untuk menciptakan keamanan, membangun rasa nyaman, menciptakan stabilitas, dan perdamaian. Adapun menjaga kehormatan dapat dilakukan dengan menciptakan tatanan social bermoral, membangun budaya malu, budaya iffah, dan budaya anti hoaks. Menjaga harta artinya, kita harus menjamin orang-orang di sekitar kita tidak mati kelaparan, kesejahteraannya terjamin, hak miliknya dijamin, dan kebutuhan hidupnya terjamin.

            Menghormati dan memuliakan manusia juga diwujudkan dalam bentuk penghargaan dan penghormatan atas kebebebasan mengekspresikan keyakinan dan agama masing-masing. Dalam konteks perbedaan ekspresi beragama, maka al-Qur’an dalam al-Baqarah 139 mengajarkan untuk mencari titik temu, menghormati keragaman ekspresi beragama, dan ketulusan murni kepada Allah tanpa pretensi dan tendensi duniawiyah:

قل أتحاجوننا في الله و هو ربنا و ربكم و لنا أعمالنا و لمن أعمالكم و نحن له مخلصون

“katakan, apakah kalian mau terus berdebat dengan kami tentang Allah? Bukankah Dia adalah Zat yang mencipta, memelihara, dan mendidik kami dan kalian? Kita berbeda hanya dalam ekspresi beragama, dan kami akan terus tulus murni mentaati Allah”.

  1. حفظ الأوطان hifz al-Authaan (menjaga tanah air)

            Meskipun Islam mengajarkan bahwa nilai-nilai ajaran bersifat universal, namun hal itu tidak berarti kita tidak bertolak dari realita di bumi yang dipijak. Islam mengajarkan kita berpikir global tetapi dengan bertolak dari lokalitas aksi (global thinking and local action). Bahkan Islam mengajarkan kepada kita untuk bertindak dan bersikap secara gradual dari lingkungan terdekat. Ini artinya kebermaknaan Islam sebagai ajaran yang mulia dan luhur tidak akan dirasakan secara universal apabila tidak diawali dengan scope yang lebih kecil, yaitu bumi, tanah, dan negeri tempat kita masing-masing berada.

            Al Quran jelas memerintahkan umat Islam untuk menghormati, membela, dan merawat tanah air dimana kita berada. Bahkan dalam surat al-Balad secara khusus Allah mendorong Rasulullah untuk mencintai tanah air, menjaganya, dan terus berkontribusi untuk kemajuan dan perbaikan negeri tempat beliau dilahirkan, sekalipun negeri tersebut adalah negeri yang menolaknya dan dipenuhi oleh manusia-manusia yang mengesampingkan Tuhan. Bahkan ketika rasulullah terusir dari Mekkah beliau berkata:

ما أطيبك من بلد، وأحبك إلي، ولولا أن قومي أخرجوني منك ما سكنت غيرك

“ Engkau adalah negeri yang paling baik dan paling saya sayangi, seandainya mereka tidak mengusirku pasti saya tidak akan tinggal di negeri lain”.

Dan ketika beliau pindah ke Madinah, beliaupun berdoa:

اللهم حبب إلي المدينة كما حببت إلي مكة أو أشد

“Ya Allah berikan kecintaan terhadap Madinah kepadaku sebagaimana Engaku dulu pernah memberikan rasa cinta ke kota Mekah, bahkan lebih”

Salah satu upaya menjaga negeri dan memeliharanya adalah dengan menjaga keamanaan dan kedamaian di negeri tersebut, seperti doa nabi Ibrahim dalam al-Baqarah 126:

وإذ قال إبراهيم رب اجعل هذ بلدا آمنا وارزق أهله من الثمرات

“ketika Ibrahim berdoa: ya Allah berikan keamanan di negeri ini, dan berilah rizki yang banyak bagi penduduknya”

  1. ازدياد العمران izdiyaadul ‘umraan (bertambahnya kontribusi bagi pembangunan)

            Misi berikutnya, adalah meninggalkan jejak-jejak budaya dan peradaban. Umat Islam pantang menjadi umat yang nakirah (tidak dikenal), untuk itu ia harus berusaha, berbuat, dan berkarya untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik, lebih mudah, lebih unggul, lebih bermartabat, dan lebih manusiawi. Terkait dengan ini Allah berfirman dalam al-Maidah 105:

وقل اعملوا فسيرى الله عملكم و رسوله والمؤمنون

“katakan: bekerjalah, sehingga Allah, rasul Nya, dan orang-orang yang beriman dapat melihat karya nyata kalian”

            Islam sebagaimana diajarkan oleh Nabi mengajarkan kepada kita perbaikan dan pembanguna  hidup secara berkelanjutan dan berkesinambungan. Atas dasar itu semboyan umat Islam adalah:

من كان يومه شرا من أمسه فهو ملعون و من كان يومه مثل أمسه فهو خاسر و من كان يومه خيرا من أمسه فهو رابح

“Siapa yang hari ini lebih buruk dari kemarin maka dia terkutuk, siapa yang hari ini sama dengan hari kemaren dia merugi, namun siapa yang hari ini lebih baik dari kemaren dia adalah orang yang beruntung”.

  1. زيادة الإيمان ziyaadah al-Iiman (bertambahnya iman)

            Islam mengajarkan bahwa semua tindakan dan perbuatan manusia hendaknya didedikasikasn sebaga bentuk ketaatan dan ketundukan kepada Allah SWT. Atas dasar itu, semua hasil cipta rasa dan karya manusia harus secara tulus dan murni  Allah maha indah dan maha mulia maka kita sebagai umat Islam harus mampu memanifestasikan keindahan dan kemuliaan Allah dalam kehidupan. Bertambahnya keimanan seseorang harus berimplikasi dalam kebajikan dan keindahan perilaku dan tindakan kita.  Hasan al-Bashri mengatakan:

ليس الإيمان بالتمنِّي، ولكن ما وقَر في القلب وصدّقه العمل، وإن قومًا خرجوا من الدُّنيا ولا عمل لهم وقالوا: نحن نحسن الظَّنَّ بالله وكَذَبُوا، لو أحسنوا الظَّنّ لأحسنوا العمل.

 “Iman bukan sekedar klaim tetapi ia adalah kesadaran yang mantap dalam hati dan diterjemahkan dalam amal nyata, apabila ada kelompok manusia yang meninggal dunia tanpa amal lalu mengaku bahwa mereka hberbaik sangka pada Allah (cukup yakin saja), maka mereka telah berbohong, karena prasangka baik terhadap Allah pasti dibuktikan dengan kebaikan amal”.

            Beberapa hadis nabi mengindikasikan bahwa untuk mendekatkan diri dengan Allah, mendapatkan ridho dan kasih sayang Nya hanya dapat dilakukan dengan melakukan kebaikan terhadap makhluk Nya. Untuk mendapatkan ridho Allah, kita harus memperoleh ridho kedua orang tua misalnya, sebagaimana sabda nabi:

رضا الله في رضا الوالدين و سخط الله في سخط الوالدين

“Keridoan Allah terdapat dalam keridoan orangtua, dan murka Allah terdapat dalam kemurkaan kedua orangtua”.

Untuk mendapatkan kasih sayang Allah pun, harus dilalui dengan upaya mendapatkan kasih sayang sesama manusia, sebagaimana sabda nabi:

ارحموا من في الأرض يرحمكم من السماء الراحمون يرحمهم الرحمن

“sayangilah manusia maka Allah akan menyayangi kalian, manusia penyayang akan disayangi Allah yang maha Rahman”.

            Meningkatnya keimanan sebaiknya bukan hanya sekedar dalam tataran pribadi, namun ia harus merambah kepada tataran social, sehingga terwujud Baldatun thayibatun wa rabbun Ghafuur. Dengan kata lain, keimanan pribadi harus berdampak pada kebaikan bersama, menciptakan kehidupan yang lebih damai, mulia, unggul, dan bermartabat.